Senin, 27 Desember 2010

Konflik Masyarakat Dengan PT.Freeport

Konflik masyarakat lokal dengan Freeport sudah berlangsung lama, yakni sejak perusahaan tambang tembaga dan emas ini mulai diizinkan beroperasi pada tahun 1967.Bekilo-kilometer hutan, lahan sagu dan lahan berburu musnah tercemari limbah. Sungai dan anakan sungai tempat menangkap ikan dan udang, tak cuma tercemari, tapi tersumbat limbah tailing. (Saat ini gundukan tailing buangan menjadi daratan luas yang tampak putih keabu-abuan dari udara). Sementara itu, pihak perusahaan acuh-tak-acuh terhadap nasib penduduk lokal yang telah dicerai-beraikan dan dirusak kehidupannya.

Namun, setiap kali keluh-kesah masyarakat lokal tidak digubris. Mereka malah dipersalahkan dan kembali mendapat perlakuan semena-mena dari aparat keamanan Freeport. Pada 21 Februari 2006, para penambang tradisional di Tembagapura bentrok dengan aparat keamanan yang melarang kegiatan mereka. Massa memblokir jalan dari Timika ke Tembagapura yang sempat memacetkan operasi Freeport. Di bulan yang sama, berlangsung aksi simpati terhadap penambang tinja emas yang diusir dari areal PT Freeport. Aksi ini berlangsung di Jayapura, Wamena dan Jakarta.

Penyelesaian konflik antara masyarakat adat dengan PT Freeport Indonesia harus dilakukan secara adil dan bijaksana dengan mendegarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat di daerah itu.
masalah tersebut yaitu kecemburuan sosial antara masyarakat asli dan non asli yang bekerja di PT Freeport itu tidak sebanding, karena mulai dari tukang sapu hingga direktur berdasi semuanya orang non Papua sehingga selalu menimbulkan masalah. Kondisi itu tidak pernah disadari dan diperhatikan secara baik oleh Pemerintah Pusat, Pemprov Papua maupun pihak perusahan, akibatnya masalah yang timbul tidak dapat diredam, karena jumlah tenaga kerja orang Papua sangat sedikit bila dibandingkan dengan non Papua.

Keberpihakan terhadap orang asli Papua, khususnya tujuh suku pemilik hak adat itu, tidak dampak terutama masalah kesejahteraan mereka tidak diperhatikan secara baik. Oleh karena itu tuntutan masyarakat tentang berapa persen yang akan diberikan pihak perusahan harus didengar dan digubris, sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan, karena dampaknya sangat besar, apabila PT Freeport ditutup. Manajemen perusahan agar selalu membuka diri, untuk memberitahukan berapa besar tambang tembaga, emas, dan perak yang sudah dikeruk yang dibawah keluar negeri, bahkan ke depan masyarakat pemilik hak adat juga harus dilibatkan dalam mengawasi aktifitas perusahan.

Sumber

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/kabar_papua051117/konflik_freeport060414-redirected

http://www.antaranews.com/print/1141212096

Tidak ada komentar:

Posting Komentar